BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR
BELAKANG
Dalam
proses pendidikan, semua stakeholder yang terkait dengan proses tersebut
mempunyai peran dan tanggungjawab sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
Masing-masing peran tersebut harus berjalan secara sinergis saling melengkapi
sehingga membentuk sustu sistem yang harmonis. Dari peran-peran yang ada, peran
guru bimbingan dan konseling sangat diperlukan sehingga kegiatan belajar dapat
berlangsung dengan baik sesuai dengan apa yang diharapkan. Bimbingan dan
konseling merupakan pelayanan dari, untuk, dan oleh manusia memiliki pengertian
yang khas. Dengan bimbingan dan konseling tersebut, siswa akan melakukan
aktifitas belajar sesuai dengan apa yang telah ditentukan, atau telah diatur
dalam suatu aturan (norma). Sebagaimana dikemukakan oleh Moeliono (1993:
208) bahwa disiplin adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan tata tertib,
aturan, atau norma.
Pada perkembangannya, tugas seorang guru kini
semakin terlihat semakin kompleks. Guru yang hanya bisa menyampaikan materi pelajaran
kepada murid-murinya hanya akan menjadi seorang guru yang terlalu kaku terhadap
murid-muridnya, apalagi jika ditambah dengan tanpa adanya bimbingan terhadap
murid-muridnya yang akan membuat hubungan guru-murid semakin kaku.Ini terasa cukup untuk menggambarkan,
bahwa tugas guru bukanlah hanya untuk menyampaikan segudang materi dengan
teori-teori konsep yang begitu rumit,tetapi seorang guru juga memiliki tugas
dan tanggung jawab untuk memberikan bimbingan serta konseling kepada para
peserta didiknya untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh para murid
sehingga pembelajaran yang diberikan tidak hanya terpancang pada materi
pelajaran yang diberikan tetapi kini ditambah dengan bimbingan yang akan
semakin membantu siswa dalam mengatasi persoalan baik dalam masalah
pembelajaran materi maupun di luar pembelajaran sekolah.
Bimbingan merupakan bantuan kepada individu dalam
menghadapi persoalan-persoalan yang dapat timbul dalam hidupnya. Bantuan
semacam itu sangat tepat jika diberikan di sekolah, supaya setiap siswa lebih
berkembang ke arah yang semaksimal mungkin. Dengan demikian bimbingan menjadi
bidang layanan khusus dalam keseluruhan kegiatan pendidikan sekolah yang
ditangani oleh tenaga-tenaga ahli dalam bidang tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
- PERANAN
GURU DALAM BIMBINGAN KONSELING
Peran
guru dalam bimbingan konseling, meliputi :
- Peran
guru kelas/mata pelajaran
Di
sekolah, tugas dan tanggung jawab utama guru adalah melaksanakan kegiatan
pembelajaran siswa. Kendati demikian, bukan berarti dia sama sekali lepas
dengan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Peran dan konstribusi guru
mata pelajaran tetap sangat diharapkan guna kepentingan efektivitas dan efisien
pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Bahkan dalam batas-batas tertentu
guru pun dapat bertindak sebagai konselor bagi siswanya. Wina Senjaya (2006)
menyebutkan salah satu peran yang dijalankan oleh guru yaitu sebagai pembimbing
dan untuk menjadi pembimbing baik guru harus memiliki pemahaman tentang anak
yang sedang dibimbingnya. Sementara itu, berkenaan peran guru mata pelajaran
dalam bimbingan dan konseling, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan bahwa
guru-guru mata pelajaran dalam melakukan pendekatan kepada siswa harus
manusiawi-religius, bersahabat, ramah, mendorong, konkret, jujur dan asli,
memahami dan menghargai tanpa syarat.
Prayitno
(2003) memerinci peran, tugas dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam
bimbingan dan konseling adalah :
- Membantu memasyarakatkan
pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa
- Membantu guru
pembimbing/konselor mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan layanan
bimbingan dan konseling, serta pengumpulan data tentang siswa-siswa
tersebut.
- Mengalih tangankan siswa yang
memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing/konselor
- Menerima siswa alih tangan dari
guru pembimbing/konselor, yaitu siswa yang menuntut guru
pembimbing/konselor memerlukan pelayanan pengajar /latihan khusus (seperti
pengajaran/ latihan perbaikan, program pengayaan).
- Membantu mengembangkan suasana
kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-siswa yang menunjang
pelaksanaan pelayanan pembimbingan dan konseling.
- Memberikan kesempatan dan
kemudahan kepada siswa yang memerlukan layanan/kegiatan bimbingan dan
konseling untuk mengikuti /menjalani layanan/kegiatan yang dimaksudkan
itu.
- 7)
Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti
konferensi kasus.
- Membantu pengumpulan informasi
yang diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan bimbingan dan konseling
serta upaya tindak lanjutnya.
2.
Peran Wali Kelas
Sebagai
pengelola kelas tertentu dalam pelayanan bimbingan dan konseling, Wali Kelas
berperan :
1)
Membantu guru pembimbing/konselor melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya di
kelas yang menjadi tanggung jawabnya.
2)
Membantu Guru Mata Pelajaran melaksanakan peranannya dalam pelayanan bimbingan
dan konseling, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.
3)
Membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa, khususnya dikelas yang
menjadi tanggung jawabnya, untuk mengikuti/menjalani layanan dan/atau kegiatan
bimbingan dan konseling;
4)
Berpartisipasi aktif dalam kegiatan khusus bimbingan dan konseling, seperti
konferensi kasus; dan
5)
Mengalihtangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada
guru pembimbing/konselor.
6)
Kerjasama guru dan konselor dalam layanan bimbingan konseling.
3.
Peran guru pembimbing/konselor
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan yang harus dimili oleh seorang guru
penyuluh / konselor.
- Kwalifikasi Dan Pendidikan Guru
BK
Untuk
menghadapi kebutuhan dewasa ini seorang guru penyuluh sekurang-kurangnya harus
seorang sarjana muda. Ia harus memiliki kwalifikasi yang memungkinkannya untuk
dapat melaksanakan tugas penyuluhan dengan berhasil baik. Diantarannya :
kecakapan scholastic, minat terhadap pekerjaannya, dan berkepribadian yang
baik.
2.
Kewajiban Dan Tanggungjawab Guru BK
Pada
umumnya guru penyuluh bertanggungjawab dalam melaksanakan Bimbingan Pendidikan
( Educational Guidance ), dan Bimbingan dalam masalah-masalah pribadi
( Personal Guidance ). Iapun harus menetapkan
kasus-kasus yang perlu mendapatkan perhatiannya dengan segera dengan jalan
meneliti catatan-catatan sekolah, mengadakan pertemuan-pertemuan dengan anggota-anggota
staff sekolah lainya, melaksanakan observasi yang dilakukannya sendiri dan
menggunakan teknik sosiometrik.
- TUJUAN
BIMBINGAN KONSELING
Tujuan
pelayanan bimbingan ialah agar konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan
penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan
datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya
seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan,
lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan
kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan,
masyarakat, maupun lingkungan kerja.
Untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk: (1)
mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkem-bangannya, (2)
mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya, (3)
mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian
tujuan tersebut, (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (5)
menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat
bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari
lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang
dimilikinya secara optimal.
Secara
khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli agar dapat
mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial,
belajar (akademik), dan karir.
1.
Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli
adalah:
- Memiliki komitmen yang kuat
dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman
sebaya, Sekolah/Madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
- Memiliki sikap toleransi
terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak
dan kewajibannya masing-masing.
- Memiliki pemahaman tentang
irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan
(anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), sertadan mampu
meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
- Memiliki pemahaman dan
penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan
keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis.
- Memiliki sikap positif atau
respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
- Memiliki kemampuan untuk
melakukan pilihan secara sehat
- Bersikap respek terhadap orang
lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat
atau harga dirinya. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam
bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya.
- Memiliki kemampuan berinteraksi
sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan
persahabatan, persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia.
- Memiliki kemampuan dalam
menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri
sendiri) maupun dengan orang lain.
- Memiliki kemampuan untuk
mengambil keputusan secara efektif.
2.
Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar)
adalah :
- Memiliki kesadaran tentang
potensi diri dalam aspek belajar, dan memahami berbagai hambatan yang
mungkin muncul dalam proses belajar yang dialaminya.
- Memiliki sikap dan kebiasaan
belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam
belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti
semua kegiatan belajar yang diprogramkan.
- Memiliki motif yang tinggi
untuk belajar sepanjang hayat.
- Memiliki keterampilan atau
teknik belajar yang efektif, seperti keterampilan membaca buku,
mengggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri menghadapi
ujian.
- Memiliki keterampilan untuk
menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal
belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam memperdalam
pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal
dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas.
- Memiliki kesiapan mental dan
kemampuan untuk menghadapi ujian.
3.
Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah :
- Memiliki pemahaman diri
(kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait dengan pekerjaan.
- Memiliki pengetahuan mengenai
dunia kerja dan informasi karir yang menunjang kematangan kompetensi
karir.
- Memiliki sikap positif terhadap
dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang pekerjaan apapun, tanpa
merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai dengan norma
agama.
- Memahami relevansi kompetensi
belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau
keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita karirnya masa depan.
- Memiliki kemampuan untuk
membentuk identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan,
kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis
pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja.
- Memiliki kemampuan merencanakan
masa depan, yaitu merancang kehidupan secara rasional untuk memperoleh
peran-peran yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan
sosial ekonomi.
- Dapat membentuk pola-pola
karir, yaitu kecenderungan arah karir. Apabila seorang konseli
bercita-cita menjadi seorang guru, maka dia senantiasa harus mengarahkan
dirinya kepada kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir keguruan
tersebut.
- Mengenal keterampilan,
kemampuan dan minat. Keberhasilan atau kenyamanan dalam suatu karir amat
dipengaruhi oleh kemampuan dan minat yang dimiliki.
Oleh
karena itu, maka setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya,
- JENIS LAYANAN BIMBINGAN KONSELING
Dalam
rangka pencapaian tujuan Bimbingan dan Konseling di sekolah, terdapat beberapa
jenis layanan yang diberikan kepada siswa, diantaranya:
- Layanan
Orientasi; layanan yang
memungkinan peserta didik memahami
lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang
dipelajari, untuk mempermudah dan
memperlancar berperannya peserta
didik di lingkungan yang baru itu, sekurang-kurangnya
diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap awal semester.
Tujuan
layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan
diri dengan lingkungan baru secara tepat dan memadai, yang berfungsi untuk
pencegahan dan pemahaman.
- Layanan Informasi; layanan yang
memungkinan peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi
(seperti : informasi belajar, pergaulan, karier, pendidikan lanjutan).
Tujuan layanan informasi adalah membantu peserta didik agar dapat
mengambil keputusan secara tepat tentang sesuatu, dalam bidang pribadi,
sosial, belajar maupun karier berdasarkan informasi yang diperolehnya yang
memadai.
Layanan
informasi pun berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
- Layanan Konten; layanan yang
memungkinan peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang
baik dalam penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan
dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan
tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar
yang baik. Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.
- Layanan Penempatan dan
Penyaluran; layanan yang memungkinan peserta didik memperoleh penempatan
dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi,
program latihan, magang, kegiatan ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar
peserta didik dapat mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi
lainnya.
Layanan
Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.
- Layanan Konseling Perorangan;
layanan yang memungkinan peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap
muka (secara perorangan) untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya
dan perkembangan dirinya.
Tujuan
layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan
masalah yang dihadapinya.
Layanan
Konseling Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
- Layanan Bimbingan Kelompok; layanan
yang memungkinan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui
dinamika kelompok memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik)
tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial,
serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika
kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan
membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan
pengembangan kemampuan sosial, serta untukpengambilan keputusan atau
tindakan tertentu melalui dinamika kelompok.
Layanan
Bimbingan Kelompok berfungsi untuk pemahaman dan Pengembangan
- Layanan Konseling Kelompok;
layanan yang memungkinan peserta didik (masing-masing anggota kelompok)
memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan
pribadi melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat
memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan
pribadi melalui dinamika kelompok.
Layanan
Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
- Konsultasi, yaitu layanan yang
membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan,
pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi
dan atau masalah peserta didik.
- Mediasi, yaitu layanan yang
membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan
antarmereka.
Untuk
menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah dikemukakan
di atas, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung, mencakup :
- Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan
kegiatan untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang peserta didik,
tentang lingkungan peserta didik dan lingkungan lainnya, yang dapat
dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen, baik tes maupun non tes,
dengan tujuan untuk memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya
dan memahami karakteristik lingkungan.
- Himpunan Data; merupakan
kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan
keperluan pengembangan peserta didik. Himpunan data diselenggarakan secara
berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.
- Konferensi Kasus; merupakan
kegiatan untuk membahas permasalahan peserta didik dalam suatu pertemuan
yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan
dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi
kasus bersifat terbatas dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk
memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak yang terkait dan
memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan
permasalahan klien.
- Kunjungan Rumah; merupakan
kegiatan untuk memperoleh data,keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi
terentaskannya permasalahan peserta didik melalui kunjungan rumah klien.
Kerja sama dengan orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk
memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga
untuk mengentaskan permasalahan klien.
- Alih Tangan Kasus; merupakan
kegiatan untuk untuk memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas
atas permasalahan yang dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus
ke pihak lain yang lebih kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau
konselor, dokter serta ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik
dapat memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan
yang dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten.
- PROSEDUR UMUM LAYANAN BIMBINGAN KONSELING
Sebagai
sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak dapat
dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib berdasarkan
prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan sebagai, yaitu:
(A) Identifikasi kasus; (B) Identifikasi masalah; (C) Diagnosis; (D) Prognosis;
(E) Treatment; (F) Evaluasi dan Tindak Lanjut.
A. Identifikasi kasus
Identifikasi
kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik yang diduga
memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun,
2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :
- Call them approach; melakukan
wawancara dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga
dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar
membutuhkan layanan konseling.
- Maintain good relationship;
menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi
jurang pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat
dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan
kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra
kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
- Developing a desire for
counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran
peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara
mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari
suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran
lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak
lanjutnya.
- Melakukan analisis terhadap hasil
belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis
kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
- Melakukan analisis sosiometris,
dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik yang diduga mengalami
kesulitan penyesuaian sosial.
B. Identifikasi Masalah
Langkah
ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah
yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar,
permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek : (1) substansial –
material; (2) struktural – fungsional; (3) behavioral; dan atau (4)
personality. Untuk mengidentifikasi kasus dan masalah peserta didik, Prayitno
dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik,
dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat
membantu untuk menemukan kasus dan mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi
peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3)
hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6)
pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; (hubungan muda-mudi); (9)
keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.
C. Diagnosis
Diagnosis
merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi
timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar
faktor-faktor penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat dari segi
input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua
faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta
didik, yaitu : (1) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri
peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan,
bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2)
faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk
didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
D. Prognosis
Langkah
ini dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik
masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya,
Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan
hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini
seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan
pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang dihadapi siswa untuk diminta
bekerja sama guna membantu menangani kasus – kasus yang dihadapi.
- Treatment
Langkah
ini merupakan upaya untuk melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas masalah
yang dihadapi klien, berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah
prognosis. Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan
dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan
kemampuan guru pembimbing atau konselor, maka pemberian bantuan bimbingan dapat
dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri (intervensi langsung),
melalui berbagai pendekatan layanan yang tersedia, baik yang bersifat direktif,
non direktif maupun eklektik yang mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Namun,
jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan
lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing/ konselor sebatas
hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih
tangan kasus).
- Evaluasi dan Follow Up
Cara
manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya tetap
dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang
telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan
dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas (2003) telah memberikan
kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:
- Berkembangnya pemahaman baru
yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;
- Perasaan positif sebagai dampak
dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
- Rencana kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka
mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara
itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004) mengemukakan beberapa
kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yang
terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan yang tampak segera dan
kriteria jangka panjang.
Kriteria
keberhasilan tampak segera, diantaranya apabila:
- Peserta didik (klien) telah
menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
- Peserta didik (klien) telah
memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
- Peserta didik (klien) telah
mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya
secara obyektif (self acceptance).
- Peserta didik (klien) telah
menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
- Peserta didik (klien) telah
menurun penentangan terhadap lingkungannya
- Peserta didik (klien) telah
melai menunjukkan sikap keterbukaannya serta mau memahami dan menerima
kenyataan lingkungannya secara obyektif.
- Peserta didik (klien) mulai menunjukkan
kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil
keputusan secara sehat dan rasional.
- Peserta didik (klien) telah
menunjukkan kemampuan melakukan usaha – usaha perbaikan dan penyesuaian
diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan
keputusan yang telah diambilnya.
Sedangkan
kriteria keberhasilan jangka panjang, diantaranya apabila:
- Peserta didik (klien) telah
menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan dalam kehidupannya yang dihasilkan
oleh tindakan dan usaha-usahanya.
- Peserta didik (klien) telah
mampu menghindari secara preventif kemungkinan-kemungkinan faktor yang
dapat membawanya ke dalam kesulitan.
- Peserta didik (klien) telah
menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan konstruktif, produktif, dan
kontributif secara akomodatif sehingga ia diterima dan mampu menjadi
anggota kelompok yang efektif.
- PENANGANAN SISWA BERMASALAH DI SEKOLAH
Di
sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan
berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang dari kategori ringan
sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya
yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua
pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling.
Penanganan siswa bernasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan
ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai
salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta
sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya
berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, harus diingat sekolah
bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami
gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan
utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku
yang terjadi pada para siswanya.
Oleh
karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan
melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang
memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa
bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya
penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan
siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan
bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas
hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang
bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan
menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya
penyesuaian diri yang lebih baik.
Sebagai
ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang siswi yang hamil
akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah secara tegas menyatakan
untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika hanya
mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil sekolah
adalah berusaha memanggil orang tua/wali siswa yang bersangkutan dan
ujung-ujungnya siswa dinyatakan dikembalikan kepada orang tua (istilah lain
dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi Bimbingan dan Konseling, maka sangat
mungkin siswa yang bersangkutan akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi
masalah-masalah baru yang justru dapat semakin memperparah keadaan. Tetapi
dengan intervensi Bimbingan dan Konseling di dalamnya, diharapkan siswa yang
bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran positif atas masalah yang
menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko yang terjadi, keinginan
untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang dapat membahayakan dirinya
maupun janin yang dikandungnya, keinginan untuk melanjutkan sekolah, serta
hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap
harus dikeluarkan dari sekolah.
Perlu
digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru BK/Konselor yang harus
mendorong atau bahkan memaksa siswa untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan
mengeluarkan siswa merupakan wewenang kepala sekolah, dan tugas Guru
BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam
hidupnya.Lebih jauh, meski saat ini paradigma pelayanan Bimbingan dan Konseling
lebih mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan,
pelayanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa bermasalah tetap masih menjadi
perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah siswa harus
ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004)
mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme dan petugas yang
menanganinya, sebagaimana dalam penjelasan berikiut :
- Masalah (kasus) ringan,
seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu,
berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap
awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali
kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru
pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
- Masalah (kasus) sedang, seperti:
gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi
antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum
minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan
sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan
berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan
sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.
- Masalah (kasus) berat, seperti:
gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku
kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan
senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alihtangan
kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum
yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.
Dengan
melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan siswa bermasalah
melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling tidak semata-mata menjadi tanggung
jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan pula berbagai
pihak lain untuk bersama-sama
membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan
perkembangan pribadi secara optimal.
STUDI
KASUS DALAM BIMBINGAN KONSELING
Lia
(bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit Salatiga yang barusan
naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara
sosial ekonomi di desa pedalaman + 17 km di luar kota Salatiga, sebagai anak
pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutkan ke
SMU di Salatiga; orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu
susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya
saat pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah.
Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman
yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di
SMU favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima,
tetapi di lain fihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar
dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang
Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang
egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya
saja, dan sombong.
Makin
lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul
sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau
keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung; terus bertahan, susah tak
ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak miskin (dibanding
teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar
menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana
mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan
makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.
MEMAHAMI
LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF
Menurut
pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat
rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang
luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi
demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri,
orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya.
Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh
kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan
memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain itu manusia juga
mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain
yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan
dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri
yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama
lainnya : pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan
dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku
rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah
dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan
diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Ciri-ciri
irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan
apa saja yang dimui harus terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat
melakukannya dianggap goblok dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman
(seperti kecemasan) yang sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan
namundibiarkan terus berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian
awal dan mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada
diri yang bersangkutan. Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut
misalnya : semua orang dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang
tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah
saya, karena saya tak berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya
pantas menderita karena semuanya itu.
Sehubungan
dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi
bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia
telah menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika
kaya, semua teman memperhatikan / mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu
semua tidak ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan
dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya
sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis
berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya.
Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu
keberhasilan/prestasinya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.
TUJUAN
DAN TEKNIK KONSELING
Jika
pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan
pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya.
Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Lia yang
melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah
beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa
otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk
mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan
realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi
dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.
Konseling
kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasional
tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah
jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar : memberi
nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan
asertive training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan
sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR
melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh : mulai dari seseorang
berharga bukan dari kekayaan atau jumlah dan status teman yang mendukung,
tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah mengasihi saya, karena saya
berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas
dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci,
memaki-maki diri saya sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40
orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja
yang membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap orang setiap saat
baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan dilatihkan dengan
pendekatan ilmiah.
Konseling
emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik
penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran,
dan pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak
rasional dan menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik
kognitif di atas. Konseling behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang
negatif dengan merobah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak
reinforcemen, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.
PENUTUP
Teori
ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang
ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor).
Tekniknya jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang
terus menerus ditujukan kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada
diri sendiri. Cara konselor ialahdengan pendekatan yang tegas, memintakan perhatian
kepada pikiran-pikiran yang menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana pikiran
dan kalimat itu beroperasi hingga membawa akibat yang merugikan. Konselor
selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali, menantang, mendebat,
menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan dengan cara
demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan dan
kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri
sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk
berpikir betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif
dengan pertimbangan :
- Ekonomis dari segi waktu baik
bagi konselor maupun konseli.
- Efektifitas teknis-teknis yang
dipakai cocok untuk bermacam ragam konseli.
- Kesegaran hasil yang dicapai.
- Kedalaman dan tanah lama serta
dapat dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya sendiri kalah.
Kesimpulannya,
penstrukturan kembali filosofis untuk merubah kepribadian yang salah berfungsi
menyangkut langkah-langkah sebagai berikut : (1) mengakui sepenuhnya bahwa kita
sebagian besar bertanggungjawab penciptaan masalah-masalah kita sendiri; (2)
menerima pengertian bahwa kita mempunyai kemampuan untuk merubah
gangguan-gangguan secara berarti; (3) menyadari bahwa problem-problem dan emosi
kita berasal dari kepercayaan-kepercayaan tidak rasional ; (4) mempersepsi
dengan jelas kepercayaan-kepercayaan ini; (5) menerima kenyataan bahwa, jika
kita mengharap untuk berubah, kita lebih baik harus menangani cara-cara tingkah
laku dan emosi untuk tindak balasan kepada kepercayaan-kepercayaan kita dan
perasaan-perasan yang salah fungsi dan tindakan-tindakan yang mengikuti; dan
(6) mempraktekkan metode-metode RET untuk menghilangkan atau merubah
konsekuensi-konsekuensi yang terganggu pada sisa waktu hidup kita ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://afhny.wordpress.com/peran-guru-dalam-bimbingan-konseling/